Toxic Shock Syndrome (TSS)
PENDAHULUAN
Toxic shock syndrome (TSS) adalah suatu kumpulan gejala yang dapat mengancam jiwa, ditandai oleh demam tinggi, nyeri tenggorok, eritema difus, hiperemia membran mukosa, mual/muntah, diare, dan gejala-gejala penyerta lainnya. TSS dapat secara cepat berkembang menjadi disfungsi multisistem disertai gangguan elektrolit berat, gagal ginjal dan syok. TSS pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Jim Todd (1978), ahli epidemiologi di rumah sakit anak-anak Denver.
TSS pertama kali mendapat perhatian publik pada tahun 1970, tidak lama setelah diperkenalkannya pembalut serap tinggi. Epidemi serius dialami oleh wanita muda Amerika, yang gejala-gejalanya tidak dapat dijelaskan, mereka datang dengan demam tinggi, tekanan darah rendah, diare dan ruam kulit seperti tersengat matahari. Meskipun TSS berhubungan dengan wanita menstruasi, penyakit ini dapat menyerang semua jenis kelamin, usia atau ras. Infeksi dapat terjadi pada anak-anak, laki-laki dan wanita, yang mengalami pembedahan, luka atau sakit, dan yang tidak dapat melawan infeksi Staphylococcus .
TSS telah dihubungkan dengan pembedahan rinologi dan alat-alat medis, dan dikaitkan dengan suatu eksotoksin berasal dari Staphylococcus aureus yang bersirkulasi dalam darah dan bersifat toksogenik. Sebanyak 30% pasien yang menjalani pembedahan merupakan karier Staphylococcus aureus. Pengguna kokain, dekongestan topikal, dan spray steroid memiliki tingkat karier yang lebih tinggi secara statistik dibandingkan mereka yang tidak menggunakannya.
Thomas dkk yang pertama kali melaporkan kasus TSS yang menjalani bedah nasal, Younis (1991) menggambarkan TSS yang dihubungkan dengan FESS. Insiden TSS pasca semua jenis bedah nasal baru-baru ini diperkirakan sebanyak 16,5/100.000 kasus. Sebagian besar kasus yang dilaporkan tersebut berhubungan dengan pemasangan tampon hidung dan atau septal splint dan menunjukan gejala klinik TSS dalam waktu 48 jam perioperatif.
TOXIC SHOCK SYNDROME TOXIN-1 (TSST-1)
TSST-1 merupakan turunan dari protein yang dikenal sebagai ”pyrogenic toxin superantigens” (PTSAs). Turunan protein ini juga termasuk Staphylococcus enteretoxins A-I, kecuali F dan Streptococcal pyrogenic exotoxins (SPE) A-C dan F.(1,7, melampaui aktivitas sejumlah substansial T-sel. Namun demikian, tidak seperti antibodi yang menstimulasi sel-sel T sesuai dengan epitope spesifik melalui berbagai macam regio TCR, superantigen seperti TSST-1 berinteraksi dengan TCR tergantung pada haplotipe masing-masing. Aktivitas ini sangat berperan penting dalam pelepasan beberapa sitokin, yang nantinya dapat berperan dalam patogenesis TSS.
PATOGENESIS
Hidung adalah tempat yang paling sering terjadi kolonisasi Staphylococcus aureus. Rusaknya barier mukosa meningkatkan risiko pada pasien yang rentan TSS. Pada keadaan normal secara fisiologis silia dan mukosa blanket yang intak melapisi jalan nafas dan berperan dalam mekanisme mucocillary clearance sebagai pertahanan terhadap kontak dengan bakteri. Aksi langsung yang memperlambat, menghambat pergerakan silia dan mukosa blanket akan menyebabkan organisme menetap di saluran nafas dan berkembang biak pada mukosa yang stagnant. Kemungkinan keringnya mukosa blanket setelah trauma operasi dan kerusakan mukosa akan mengakibatkan tidak aktifnya mucociliary clearance dan merupakan tempat masuknya toksin bakteri.
Tindakan yang dapat meningkatkan risiko meliputi penggunaan alat-alat medis seperti tampon hidung dan septal splints. Sebagian besar kasus TSS secara langsung disebabkan oleh kolonisasi atau infeksi Staphylococcus aureus yang mensekresi eksotoksin dan dikenal sebagai toxic shock syndrome toxin-1 (TSST-1). Sifat biologis yang dimiliki oleh TSST-1 adalah sebagai berikut:
1. Menimbulkan demam dengan cara menginduksi hipotalamus secara langsung atau secara tidak langsung melalui interleukin 1(IL-1) danmemproduksi Tumor Necrosis Factor (TNF)
2. Menimbulkan superantigenisasi dan stimulasi berlebihan terhadap limfosit T
3. Merangsang produksi interferon
4. Meningkatkan hipersensitifitas tipe lambat
5. Menekan migrasi netrofil dan sekresi imunolgobulin
6. Meningkatkan kerentanan penjamu terhadap endotoksin
Sebanyak 90% kasus TSS akibat menstruasi (TSSAM) adalah disebabkan oleh strain S. aureus yang menghasilkan TSST-1, sedangkan pada kasus TSS non menstruasi (TSSANM), TSST-1 hanya ditemukan pada kurang dari separuh kasus. Enterotoksin B dan C telah berhasil diidentifikasi dari bahan isolasi TSSANM dan memiliki struktur biokimiawi yang hampir identik dengan yang terdapat pada TSST-1. Hal ini dapat menjelaskan kemiripan gambaran klinis TSSAM dan TSSANM. Aspek paling menarik dari patofisiologi adalah vasodilatasi masif dan perpindahan cepat protein serum dan cairan ruang intravaskuler ke ekstravaskuler.
Hipotensi disebabkan oleh :
• Menurunnya tonus vasomotor menimbulkan penimbunan darah di perifer dan kemudian menyebabkan turunnya tekanan vena sentral dan tekanan kapiler paru.
• Kebocoran cairan yang bersifat non hidrostatik ke dalam jaringan interstitium, menyebabkan turunnya volume intravaskuler dan udem secara menyeluruh, terutama di daerah kepala dan leher
• Menurunnya fungsi jantung, termasuk berkurangnya pergerakan otot jantung dan berkurangnya fraksi kontraksi
• Berkurangnya cairan tubuh total akibat muntah, diare, dan demam.
Dibutuhkan beberapa faktor untuk berkembang menjadi sindroma yaitu :
1. Individu harus terinfeksi dengan Staphylococcus aureus yang memproduksi TSST-1 atau implikasi toksin lainnya.
2. Toksin kemudian menyebar pada kulit atau barier membran mukosa pada daerah kolonisasi.
3. Pada pasien harus terdapat risiko infeksi karena kekurangan antibodi antitoksin atau faktor protektif lainnya.
ETIOLOGI
TSS disebabkan oleh strain Staphylococcus aureus yang normalnya ditemukan pada hidung , mulut, tangan dan kadangkadang vagina. Bakteri menghasilkan toksin yang karasteristik. Dalam jumlah yang cukup besar, toksin dapat masuk peredaran darah dan menyebabkan infeksi yang berpotensial menjadi fatal.
Faktor Predisposisi :
• Influenza
• Stomatitis
• Tracheitis
• Penggunaan obat intravena
• Infeksi HIV
• Luka bakar
• Dermatitis kontak alergi
• Infeksi kandungan
• Post partum
• Infeksi pasca operasi
• Tampon hidung
• Diabetes mellitus
EPIDEMIOLOGI
Pada awal tahun 1980 dilaporkan kasus TSS non menstrual yang dihubungkan dengan berbagai macam prosedur operasi misalnya pada rinoplasti, pemakaian tampon hidung dan kondisi kesehatan misalnya pneumonia, influenza dan infeksi. TSS dilaporkan terjadi menyusul setelah serangan influenza dan penyakit menyerupai influenza dengan angka mortalitas yang signifikan (43%). Pemakaian tampon juga dapat mengakibatkan TSS (20%-40%) pada populasi dewasa Pengguna kokain, dekongestan topikal, steroid spray memiliki tingkat karier terhadap S. aureus lebih tinggi secara statistik dibandingkan dengan mereka yang tidak menggunakannya.
GAMBARAN KLINIK
Waktu rata-rata yang dibutuhkan hingga timbulnya penyakit pada TSS pasca bedah adalah 2 hari. Kasus TSS minor ringan umumnya ditandai dengan demam, menggigil, mialgia, nyeri abdomen, sakit tenggorokan, mual, muntah dan diare. Kasus TSS major dapat terjadi secara akut disertai gangguan multisistem berbagai organ dan kelainan laboratorium.
Pemeriksaan fisis
Demam lebih dari 102 oF (38,9 oC)
• Hipotensi atau penurunan tekanan sistol sebesar 15 mmHg. Stadium awal biasanya berlangsung sekitar 24-48 jam, pasien akan mengalami disorientasi dan oligouri
• Udem wajah dan ekstremitas akibat kebocoran cairan intravaskuler ke dalam ruang interstitial
• Kelemahan dan kaku otot
• Distensi abdomen
• .-3/4 penderita mengalami faringitis dan lidah kemerahan
• Konjungtiva hiperemis
• Eritroderma difus akan terjadi selama 3 hari dan kemudian diikuti oleh deskuamasi yang tebal terutama di telapak tangan dan telapak kaki selama masa penyembuhan.
• Penderita dengan gejala sangat berat akan mengalami kerontokan rambut dan kuku 2-3 bulan kemudian.
Pemeriksaan laboratorium
• Leukositosis
• Limfositopenia
• Anemia ringan ( anemia hemolitik mikroangiopati )
• Gangguan fungsi hati SGOT dan SGPT meningkat, Hiperbilirubinemia
• PTT meningkat, PT normal
• Azotemia, mioglobinuria dan sedimen urin abnormal (pyuria dan red cell casts) setelah terjadi gagal ginjal akut.
• Gangguan elektrolit
Radiologis :
Menunjukkan gambaran acute respiratory distress syndrome (ARDS) atau udem paru, dengan tanda soft tissue swelling pada lokasi infeksi.
Elektrokardiogram :
• Aritmia ventrikuler
• Bundle branch block
• Blok jantung derajat 1
DIAGNOSIS
TSS didiagnosis jika ditemukan 4 gejala mayor dan paling sedikit 3 gejala minor (tabel 1).
A . GEJALA MAYOR | |
Gastrointestinal | muntah atau diare pada saat onset penyakit |
Muskuler | mialgia yang berat atau kadar phosphokinase kreatin paling sedikit 2 kali di atas nilai normal.
|
Mukosa | membran hiperemi vagina, orofaring atau konjungtiva
|
Renal | Blood Urea Nitrogen (BUN) atau kreatinin paling sedikit 2 kali di atas batas normal atau sedimen urin dengan pyuria tanpa adanya infeksi saluran kencing.
|
Hematologi | trombosit <>
|
Sistem saraf pusat
| Disorentasi atau perubahan pada kesadaran tanpa tanda fokal neurologi dengan tidak disertai adanya demam dan hipotensi.
|
Serologi | Tes serologi negatif untuk Rocky Mountain spotted fever, leptospirosis dan measles.
|
B. GEJALA MINOR | |
Demam > 38,9o C disertai menggigil dan sakit tenggorok
| |
Ruam dan deskuanasi
| |
Myalgia, nyeri abdomen, mual / muntah dan diare
|
B. Gejala minor:
Tabel 1. Gejala Toxic Shock Syndrome
Perawatan ICU :
Resusitasi cairan dan pemberian oksigen dilanjutkan.
Monitor denyut jantung , respirasi dan tekanan darah :
• Resusitasi cairan
1. 24 jam pertama penderita memerlukan 4-20 liter larutan kristaloid dan fresh frozen plasma
2. Mungkin dapat diberikan infus dopamin dengan dosis awal 5-20 μg/kgbb bila restriksi cairan gagal memulihkan tekanan normal.
Terapi oksigen :
• Untuk memaksimalkan oksigenisasi jaringan
• Untuk mengoreksi hipoksia dan atau asidosis.
• Terapi hiperbarik oksigen digunakan pada infeksi jaringan nekrosis
• Monitoring jantung, dengan pengobatan aritmia grade tinggi
• Monitoring gas darah
• Pasang kateter untuk monitoring urine
• Tampon (jika ada) diangkat
• Fokus infeksi cepat dicari dan diobati segera.
Biakan dari semua kemungkinan tempat infeksi sebaiknya dilakukan, termasuk biakan darah sebelum terapi antibiotik.
Terapi antibiotik :
• Amoksisilin dengan β laktamase seperti: klavulanat atau sulbaktam 1-2 g. tiap 4 jam; jika alergi terhadap penisilin dapat diberi vankomisin atau klindamisin, 600-900 mg IV per 8 jam atau eritromisin 1 g. tiap 6 jam selama 3 hari dilanjutkan dengan dikloksasillin oral atau klindamisin oral pada penderita alergi penisilin selama 10-14 hari.
• Metilprednisolon dan imunoglobulin intravena.
PROGNOSIS
Prognosis sangat dipengaruhi oleh lamanya syok, gangguan organ sekunder, kecepatan pendeteksian dan intervensi medis yang serius.
A. Gejala mayor:
DIAGNOSIS BANDING
• Sindrom virus akut
• Leptospirosis
• Sindrom lupus eritematous
• Gastroenteritis
• Penyakit Kawasaki
• Demam scarlet staphylococcus
PENGOBATAN
Pengobatan TSS tergantung derajatnya. Aspek pengobatan awal yang paling penting adalah penatalaksanaan syok sirkulasi segera. Pengawasan terus menerus atas denyut jantung, pernafasan, tekanan darah, saturasi oksigen, output urin, dan tekanan vena sentral.
Perawatan sebelum masuk rumah sakit:
• Mulai segera resusitasi cairan secara agresif, terutama pada hipotensi
• Pemberian oksigen
sumber ; cdk infeksi 2009
1 komentar:
betul, ini hanya membantu teman u lebih gampang cari bhnnya
Posting Komentar