MUHAMMAD AKBAR , MD

Rabu, 28 Mei 2008

Rekapan nilai Coas baiturrahmah

KEPANITERAAN KLINIK TELAH DILAKSANAKAN

DI RSU DR PIRNGADI MEDAN

NAMA : MUHAMMAD AKBAR

NPM : 01-310063

CO-ASS BAITURRAHMAH PADANG

NO

MATA PELAJARAN

TEMPAT (RS)

LAMANYA (MINGGU)

TANGGAL

NILAI ANGKA

NILAI HURUF

1.

ILMU PENYAKIT THT

RUMKIT

4

10 April 2006 s/d

5 Mei 2006

82

A

2.

ILMU PENYAKIT MATA

RSU DELI SERDANG

6

8 Mei 2006 s/d

17 Juni 2006

75

B

3.

RADIOLOGI

RSUPM

4

19 Juni 2006 s/d

15 Juli 2006

82

A

4.

ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT

RUMKIT

2

17 Juli 2006 s/d

28 Juli 2006

72

B

5.

ANASTESIOLOGI

RUMKIT

5

31 Juli 2006 s/d

1 September 2006

75

B

6.

ILMU PENYAKIT ANAK

RSUPM

8

4 September 2006 s/d

28 Oktober 2006

60

C

7.

ILMU PENYAKIT JIWA

RSUPM

5

6 November 2006 s/d

9 Desember 2006

60

C

8.

ILMU PENYAKIT PARU

RSUPM

4

11 Desember 2006 s/d

6 Januari 2007

80

A

9.

ILMU KEDOKTERAN KEHAKIMAN

RSUPM

4

8 Januari 2007 s/d

3 Februari 2007

75

B

10.

ILMU BEDAH

RSUPM

12

5 Februari 2007 s/d 28 April 2007

68

B

11.

OBSTETRI GINEKOLOGI

RSUPM

10

30 April 2007 s/d

7 Juli 2007

71

B

12.

ILMU PENYAKIT SARAF

RUMKIT

5

9 Juli 2007 s/d

11 Agustus 2007

63

C

13.

ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

DINKES SUMUT

8

13 Agustus 2007 s/d

6 Oktober 2007

80

A

14

ILMU PENYAKIT DALAM

RSUPM

12

22 Oktober 2007 s/d 12 Januari 2008

70

B

15

ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

RSUPM

6

14 Januari s/d

23 Februari 2008


C

Medan, Maret 2008

Perwakilan FK-UNBRAH

RSU DR PIRNGADI MEDAN

Dr. Amiruddin Siregar, Sp.OG (k)

DAFTAR NAMA CO-ASSISTEN

FK-UNIVERSITAS BAITURRAHMAH

Kop surat

No : /Perw./Unbrah/III/2008 medan, 00 Maret 2008

Lamp ;

Hal ; Pemberitahuan

Kepada Yth.

Daudara Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Baiturrahmah dipadang

Dengan Hormat

Bersama ini disampaikan nama Co. Asisten Dari fakultas kedokteran universitas baiturrahmah yang telah menyelesaikan seluruh kepaniteraan klinik senior di RSU dr pirngadi medan, RSU deliserdang , RSTk II Kesdam Putri hijau (terlampir

Juga turut dilampirkan nilai yang sudah diperoleh dari masing0masing stase kepaniteraan klinik tersebut

Demikian disampaikan dan atas perhatiannya diucapkan terimakasih

Perwakilan

Fakultas Kedokteran Universitas Baiturrahmah

Padang

Dr.Amiruddin Siregar, SpOG (K)


Selasa, 27 Mei 2008

spondylitis tuberkulosa

SPONDILITIS TUBERKULOSA

PENDAHULUAN

Spondilltis tuberkulosa merupakan salah satu kasus penyakit tertua dalam sejarah dengan ditemukan dokumentasi kasusnya pada mummi di Mesir dan Peru'-2. Sir Percival Pott (1799) mendeskrispsikan penyakit ini dalam monografnya yang klasik dan sejak saat itu spondilitis tuberkulosa dikenal juga sebagai penyaldt Pott (Port's disease). Tuberkulosis merupakan masalah besar bagi negara-negara berkembang karena insidensnya cukup tinggi dengan morbiditas yang serius. Indonesia adalah kontributor pasien tuberkulosis nomor 3 di dunia setelah India dan Cina. Diperkirakan terdapat 583.000 kasus baru tuberkulosis per tahun, sebagian besar berada dalarn usia produktif (15-54 tahun), dengan tingkat sosioekonomi dan pendidikan yang rendah. (1,2)

Spondilitis tuberkulosa merupakan fokus sekunder dari infeksi tuberkulosis dengan penyebaran sebagian besar secara hematogen melalui pembuluh darah arteri epifiseal atau melalui plexus vena Batson. Telah ditemukan spondilitis tuberkulosa setelah instilasi BCG (Bacillus Calmelle Guerin) intravesical pada karsirnoma buli-buli. Juga telah dilaporkan kasus osteomyelitis tuberkulosa sebagai komplikasi dari vaksinasi BCG . Fokus primer infeksi cenderung berbeda pada kelompok umur yang berbeda. Banerjee melaporkan pada 499 pasien dengan spondilitis tuberkulosa, radiologis memperlihatkan 31% fokus primer adalah paru-paru dan dan kelompok tersebut 78% adalah anak-anak, sedangkan 69% sisanya

memperlihatkan foto rantgen paru yang normal dan sebagian besar adalah dewasa. (1,2)

Pada usia dewasa, diskus intervertebralis avaskular sehingga Iebih resisten terhadap infeksi dan kalaupun terjadi adalah sekunder dari korpus vertebra. Pada anak-anak karena diskus intervertebralis masih bersifat vaskular, infeksi diskus dapat terjadi primer. Penyempitan diskus intervertebralis terjadi akibat destruksi tulang pada kedua sisi diskus sehingga diskus mengalami herniasi ke dalam korpus vertebra yang telah rusak. Kompresi struktur neurologis terjadi akibat penekanan oleh proses ekstrinsik maupun intrinsik. Proses ekstrinsik pada fase aktif diakibatkan oleh akumulasi cairan akibat edema, abses kaseosa, jaringan granulasi, sequester tulang atau diskus. (1,2)

INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI

Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi. Pada negara yang sedang berkembang, sekitar 60% kasus terjadi pada usia dibawah usia 20 tahun sedangkan pada negara maju, lebih sering mengenai pada usia yang lebih tua. Meskipun perbandingan antara pria dan wanita hampir sama, namun biasanya pria lebih sering terkena dibanding wanita yaitu 1,5:2,1. Di Ujung Pandang spondilitis tuberkulosa ditemukan sebanyak 70% dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi. Umumnya penyakit ini menyerang orang-orang yang berada dalam keadaan sosial ekonomi rendah. (3)

Gambar Spondilytis TB

ETIOLOGI

Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh mikobakterium tuberkulosa atipik. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman, tertidur lama selama beberapa tahun. (1,3)

PATOLOGI

Walaupun semua vertebrae dari columna vertebralis dapat diserang namun yang terbanyak menyerang bagian thorax. Vertebra lumbalis juga dapat terserang dan akhirnya vertebra cervicalis pun tidak terlepas dari serangan ini. focus yang pertama dapat terletak pada centrum corpus vertebrae atau pada metaphyse, bisa juga pertama kali bersifat subperiosteal. Penyakit ini juga dapat menjalar, sehingga akhirnya corpus vertebrae tidak lagi kuat untuk menahan berat badan dan seakan-akan hancur sehingga dengan demikian columna vertebralis membengkok. Kalau hal ini terjadi pada bagian thorax, maka akan terdapat pembengkokan hyperkyphose yang kita kenal sebagai gibbus. Sementara itu proses dapat menimbulkan gejala-gejala lain, diantaranya dapat terkumpulnya nanah yang semakin lama semakin banyak, nanah ini dapat menjalar menuju ke beberapa tempat diantaranya dapat berupa : (2)

1. Suatu abscess paravertebrae, abscess terlihat dengan bentuk spoel di kiri-kanan columna vertebralis.

2. Abscess dapat pula menembus ke belakang dan berada di bawah fasi dan kulit di sebelah belakang dan di luar columna vertebralis merupakan suatu abscess akan tetapi tidak panas. Umumnya abscess ini dinamakan abscess dingin. Abscess dingin artinya abscess tuberculose.

3. Dapat pula abscess menjalar mengelilingi tulang rusuk, sehingga merupakan senkung’s abscess yang terlihat di bagian dada penderita.

4. Abscess juga dapat menerobos ke pleura sehingga menimbulkan empyme.

5. Pada leher dapat juga terjadi abscess yang terletak dalam pharynx sehingga merupakan retropharyngeal abscess.

6. Dapat pula abscess terlihat sebagai supraclavicular abscess.

7. Pada lumbar spine abscess dapat turun melalui musculus iliopsoas yang kemudian menurun sampai terjadi abscess besar yang terletak di bagian dalam dari paha.

Semua abscess tersebut di atas dapat menembus kulit dan menyebabkan timbulnya fistel yang bertahun-tahun. Kecuali abses-abses tersebut di atas, tuberculose pada vertebrae dapat pula memberikan komplikasi, ialah paraplegia, umumnya disebut Pott’s Paraplegia. Komplikasi ini disebabkan karena adanya tekanan pada Medulla Spinalis. Adapun pathogenesis dari proses ini dapat dijelaskan sebagai berikut : tekanan dapat berasal dari proses yang terletak di dalam canalis spinalis. Jika di dalam canalis spinalis ada proses tuberculose yang terletak pada corpus bagian belakang yang merupakan dasar dari canalis spinalis, maka proses tadi menimbulkan pengumpulan nanah/jaringan granulasi langsung menekan medulla spinalis. Dalam hal ini meskipun nanah hanya sedikit, akan tetapi cukup untuk memberikan tekanan yang hebat pada Medulla Spinalis. (2,4)

Dapat pula proses tuberculosa menghancurkan corpus sehingga canalis spinalis membengkok dan menekan pada tulang dindingnya. Tekanan tadi menyebabkan paraplegia. Kemungkinan lain ialah terdapat sequestra dan pus di sekeliling canalis spinalis tadi yang juga menekan pada medulla spinalis. Dengan demikian banyak sebab-sebab yang dapat menekan medulla spinalis dengan keras sehingga menimbulkan gejala paraplegia. Secara klinis paraplegia dapat dibagi menjadi early onset, ialah jika paraplegia segera timbul sebagai kelanjutan dari proses spondylitis tuberculose. Type kedua adalah paraplegia late onset, paraplegia ini terjadi setelah penyakit spondylitis sifatnya tenang untuk beberapa waktu lamanya kemudian timbul gejala-gejala paraplegia secara perlahan-lahan. (1,2)

Lesi Spondilitis tuberkulosa berawal suatu tuberkel kecil yang berkembang lambat, bersifat osteolisis lokal, awalnya pada tulang subkhondral di bagian superior atau inferior anterior dari korpus vertebra . Proses infeksi Myobacterium tuberkulosis akan mengaktifkan chaperonin 10 yang merupakan stimulator poten dari proses resorpsi tulang sehingga akan terjadi destruksi korpus vertebra dianterior. Proses perkijuan yang terjadi akan menghalangi proses pembentukan tulang reaktif dan mengakibatkan segmen tulang yang terinfeksi relatif avaskular sehingga terbentuklah sequester tuberkulosis. Destruksi progresif di anterior akan mengakibatkan kolapsnya korpus vertebra yang terinfeksi dan terbentuklah kifosis ( angulasi posterior ) tulang belakang.Proses terjadinya kifosis dapat terus berlangsung walaupun telah terjadi resolusi dari proses infeksi.Kifosis yang progresif dapat mengakibatkan problem respirasi dan paraplegi. (1,3)

Infeksi akhirnya menembus korteks vertebra dan membentuk abses paravertebral. Diseminasi lokal terjadi melalui penyebaran hematogen dan penyebaran langsung dibawah ligamentum longitudinal anterior.Apabila telah terbentuk abses paravertebral , lesi dapat turun mengikuti alur fascia muskulus psoas yang dapat mencapai trigonum femoralis.

Pada usia dewasa , diskus intervertebralis avaskular sehingga lebih resisten terhadap infeksi dan kalaupun terjadi adalah sekunder dari korpus vertebra.Pada anak–anak karena diskus intervertebralis masih bersifat avaskular,infeksi diskus dapat terjadi primer. Gejala utama adalah nyeri tulang belakang, nyeri biasanya bersifat kronis dapat lokal maupun radikular.Pasien dengan keterlibatan vertebra segmen servikal dan thorakal cenderung menderita defisit neurologis yang lebih akut sedangkan keterlibatan lumbal biasanya bermanifestasi sebagai nyeri radikular.Selain nyeri terdapat gejala sistemik berupa demam , malaise , keringat malam , peningkatan suhu tubuh pada sore hari dan penurunan berat badan . Tulang belakang terasa nyeri dan kaku pada pergerakan. (1,4)

PATOFISIOLOGI

Basil TB masuk ke dalam tubuh sebagian besar melalui traktus respiratorius. Pada saat terjadi infeksi primer, karena keadaan umum yang buruk maka dapat terjadi basilemia. Penyebaran terjadi secara hematogen. Basil TB dapat tersangkut di paru, hati limpa, ginjal dan tulang. Enam hingga 8 minggu kemudian, respons imunologik timbul dan fokus tadi dapat mengalami reaksi selular yang kemudian menjadi tidak aktif atau mungkin sembuh sempurna. Vertebra merupakan tempat yang sering terjangkit tuberkulosis tulang. Penyakit ini paling sering menyerang korpus vertebra. Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan, atau daerah epifisial korpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifise, discus intervertebralis dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan menyebabkan terjadinya kifosis yang dikenal sebagai gibbus. Berbeda dengan infeksi lain yang cenderung menetap pada vertebra yang bersangkutan, tuberkulosis akan terus menghancurkan vertebra di dekatnya. (3)

Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis serta basil tuberkulosa) menyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior dan mendesak aliran darah vertebra di dekatnya. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis ligament yang lemah. Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami protrusi ke depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esophagus, atau kavum pleura. Abses pada vertebra torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah toraks setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medulla spinalis sehingga timbul paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis pada trigonum skarpei atau regio glutea. (1,3)

Menurut Gilroy dan Meyer (1979), abses tuberkulosis biasanya terdapat pada daerah vertebra torakalis atas dan tengah, tetapi menurut Bedbrook (1981) paling sering pada vertebra torakalis 12 dan bila dipisahkan antara yang menderita paraplegia dan nonparaplegia maka paraplegia biasanya pada vertebra torakalis10 sedang yang non paraplegia pada vertebra lumbalis. Penjelasan mengenai hal ini sebagai berikut : arteri induk yang mempengaruhi medulla spinalis segmen torakal paling sering terdapat pada vertebra torakal 8-lumbal 1 sisi kiri. Trombosis arteri yang vital ini akan menyebabkan paraplegia. Faktor lain yang perlu diperhitungkan adalah diameter relatif antara medulla spinalis dengan kanalis vertebralisnya. Intumesensia lumbalis mulai melebar kira-kira setinggi vertebra torakalis 10, sedang kanalis vertebralis di daerah tersebut relative kecil. Pada vertebra lumbalis 1, kanalis vertebralisnya jelas lebih besar oleh karena itu lebih memberikan ruang gerak bila ada kompresi dari bagian anterior. Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa paraplegia lebih sering terjadi pada lesi setinggi vertebra torakal 10. (3)

Kerusakan medulla spinalis akibat penyakit Pott terjadi melalui kombinasi 4 faktor yaitu :

1. Penekanan oleh abses dingin

2. Iskemia akibat penekanan pada arteri spinalis

3. Terjadinya endarteritis tuberkulosa setinggi blokade spinalnya

4. Penyempitan kanalis spinalis akibat angulasi korpus vertebra yang rusak

Discitis


Infeksi

Osteomilitis Pott’s disease




abses

Gambar Tuberculosis pada Tulang Belakang

Kumar membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium yaitu :

1. Stadium implantasi. Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-anak umumnya pada daerah sentral vertebra.

2. Stadium destruksi awal, Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra serta penyempitan yang ringan pada discus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu.

3. Stadium destruksi lanjut. Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra dan terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), yang tejadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus.

4. Stadium gangguan neurologis. Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini. Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu :

Derajat I : kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan
aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi
gangguan saraf sensoris.

Derajat II : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih
dapat melakukan pekerjaannya.

Derajat III : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi
gerak/aktivitas penderita serta hipoestesia/anesthesia.

Derajat IV : terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan
defekasi dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya.

Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif/sembuh terjadi oleh karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra.

5. Stadium deformitas residual. Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya stadium implantasi. Kifosis atau gibbus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang massif di sebelah depan. (3)

GAMBARAN KLINIS

Gambaran Spondilitis Tuberkulosa antara lain : :

- Badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun,

- Suhu subfebril terutama pada malam hari serta sakit pada punggung, Pada anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari.

- Pada awal dapat dijumpai nyeri interkostal yaitu nyeri yang menjalar dari tulang belakang ke garis tengah keatas dada melalui ruang intercosta, hal ini karena tertekannya radiks dorsalis ditingkat torakal

- Nyeri spinal yang menetap, terbatasnya pergerakan spinal.

Kelainan neurologis terjadi pada sekitar 50% kasus karena proses destruksi lanjut berupa :

- Paraplegia, paraparesis, ataupun nyeri radix saraf, akibat penekanan medulla spinalis yang menyebabkan kekakuan pada gerakan berjalan dan nyeri,

- Gambaran paraplegia inferior kedua tungkai bersifat UMN dan adanya batas deficit sensorik setinggi tempat gibus/lokalisasi nyeri interkostal

Pemeriksaan pisik

- Adanya gibus dan nyeri setempat

- Spastisitas

- Hiperreflesia tendon lutut/Achilles dan reflex patologik pada kedua belah sisi

- Batas deficit sensorik akibat mielitis transversa dan gangguan miksi jarang dijumpai (1,3,5,6,7)

Spondylitis korpus vertebra dibagi menjadi tiga bentuk :

1. Pada bentuk sentral.

Detruksi awal terletak di sentral korpus vertebra, bentuk ini sering ditemukan pada anak.

2. Bentuk paradikus.

Terletak di bagian korpus vertebra yang bersebelahan dengan diskus intervertebral, bentuk ini sering ditemukan pada orang dewasa.

3. Bentuk anterior.

Dengan lokus awal di korpus vertebra bagian anterior, merupakan penjalaran per kontinuitatum dari vertebra di atasnya.

DIAGNOSIS
diagnose dari penyakit ini dapat kita ambil melalui bebertapa tanda khas dibawah ini,
Penyakit ini berkembang lambat, tanda dan gejalanya dapat berupa :

o Nyeri punggung yang terlokalisir

o Bengkak pada daerah paravertebral

o Tanda dan gejala sistemik dari TB

o Tanda defisit neurologis, terutama paraplegia

Pemeriksaan Laboratorium

o Peningkatan LED dan mungkin disertai leukositosis, tetapi hal ini tidak dapat digunakan untuk uji tapis. Al-marri melaporkan 144 anak dengan spondilitis tuberkulosis didapatkan 33 % anak dengan laju endap darah yang normal.

o Uji Mantoux positif

o Pada pewarnaan Tahan Asam dan pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan mikobakterium

o Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional.

o Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel

o Pungsi lumbal., harus dilakukan dengan hati-hati, karena jarum dapat menembus masuk abses dingin yang merambat ke daerah lumbal. Akan didapati tekanan cairan serebrospinalis rendah, test Queckenstedt menunjukkan adanya blokade sehingga menimbulkan sindrom Froin yaitu kadar protein likuor serebrospinalis amat tinggi hingga likuor dapat secara spontan membeku.

o Peningkatan CRP ( C-Reaktif Protein ) pada 66 % dari 35 pasien spondilitis tuberkulosis yang berhubungan dengan pembentukan abses.

o Pemeriksaan serologi didasarkan pada deteksi antibodi spesifik dalam sirkulasi.

o Pemeriksaan dengan ELISA ( Enzyme-Linked Immunoadsorbent Assay ) dilaporkan memiliki sensitivitas 60-80 % , tetapi pemeriksaan ini menghasilkan negatif palsu pada pasien dengan alergi.Pada populasi dengan endemis tuberkulosis,titer antibodi cenderung tinggi sehingga sulit mendeteksi kasus tuberkulosis aktif.

o Identifikasi dengan Polymerase Chain Reaction ( PCR ) masih terus dikembangkan. Prosedur tersebut meliputi denaturasi DNA kuman tuberkulosis melekatkan nucleotida tertentu pada fragmen DNA , amplifikasi menggunakan DNA polymerase sampai terbentuk rantai DNA utuh yang dapat diidentifikasi dengan gel. (2,3)

Pada pemeriksaan mikroskopik dengan pulasan Ziehl Nielsen membutuhkan 10 basil permililiter spesimen, sedangkan kultur membutuhkan 10 basil permililiter spesimen. Kesulitan lain dalam menerapkan pemeriksaan bakteriologik adalah lamanya waktu yang diperlukan. Hasil biakan diperoleh setelah 4-6 minggu dan hasil resistensi baru diperoleh 2-4 minggu sesudahnya.Saat ini mulai dipergunakan system BATEC ( Becton Dickinson Diagnostic Instrument System ), Dengan system ini identifikasi dapat dilakukan dalam 7-10 hari.Kendala yang sering timbul adalah kontaminasi oleh kuman lain, masih tingginya harga alat dan juga karena system ini memakai zat radioaktif maka harus dipikirkan bagaimana membuang sisa-sisa radioaktifnya.

Pemeriksaan Radiologis:

o Pemeriksaan foto toraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru. Hal in sangat diperlukan untuk menyingkirkan diagnosa banding penyakit yang lain

o Foto polos vertebra, ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi korpus vertebra, disertai penyempitan discus intervertebralis yang berada di antara korpus tersebut dan mungkin dapat ditemukan adanya massa abses paravertebral. Pada foto AP, abses paravertebral di daerah servikal berbentuk sarang burung (bird’s net), di daerah torakal berbentuk bulbus dan pada daerah lumbal abses terlihat berbentuk fusiform. Pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra yang hebat sehingga timbul kifosis.

o Dekalsifikasi suatu korpus vertebra (pada tomogram dari korpus tersebut mungkin terdapat suatu kaverne dalam korpus tersebut) oleh karena itu maka mudah sekali pada tempat tersebut suatu fraktur patologis. Dengan demikian terjadi suatu fraktur kompresi, sehingga bagian depan dari korpus vertebra itu adalah menjadi lebih tipis daripada bagian belakangnya (korpus vertebra jadi berbentuk baji) dan tampaklah suatu Gibbus pada tulang belakang itu.

o “Dekplate” korpus vertebra itu akan tampak kabur (tidak tajam) dan tidak teratur.

o Diskus Intervertebrale akan tampak menyempit.

o Abses dingin. (2,3,7)

Foto Roentgen, abses dingin itu akan tampak sebagai suatu bayangan yang berbentuk kumparan (“Spindle”). Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8-L3 dan paling jarang pada vertebra C1-2.

Pemeriksaan CT scan

o CT scan dapat memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi
irreguler, skelerosis, kolaps diskus dan gangguan sirkumferensi tulang.

o Mendeteksi lebih awal serta lebih efektif umtuk menegaskan bentuk dan
kalsifikasi dari abses jaringan lunak. Terlihat destruksi litik pada vertebra (panah hitam) dengan abses soft-tissue (panah putih)

Pemeriksaan MRI

o Mengevaluasi infeksi diskus intervertebra dan osteomielitis tulang belakang.

o Menunjukkan adanya penekanan saraf.

Dilaporkan 25 % dari pasien mereka memperlihatkan gambaran proses infeksi pada CT-Scan dan MRI yang lebih luas dibandingkan dengan yang terlihat dengan foto polos.CT-Scan efektif mendeteksi kalsifikasi pada abses jaringan lunak . Selain itu CT-Scan dapat digunakan untuk memandu prosedur biopsi.

Gambar Spondilitis tuberkulosa

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan spondilitis tuberkulosis ditujukan untuk eradikasi infeksi , memberikan stabilitas pada tulang belakang dan menghentikan atau memperbaiki kifosis. Kriteria kesembuhan sebagian besar ditekankan pada tercapainya favourable status yang didefenisikan sebagai pasien dapat beraktifitas penuh tanpa membutuhkan kemoterapi atau tindakan bedah lanjutan, tidak adanya keterlibatan system saraf pusat , focus infeksi yang tenang secara klinis maupun secara radiologis. (3,4,7)

Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan sesegera mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah paraplegia.
Prinsip pengobatan paraplegia Pott sebagai berikut :

1. Pemberian obat antituberkulosis

2. Dekompresi medulla spinalis

3. Menghilangkan/ menyingkirkan produk infeksi

4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft)

Pengobatan terdiri atas :

1. Terapi konservatif berupa:

a. Tirah baring (bed rest)

b. Memberi korset yang mencegah gerakan vertebra /membatasi gerak vertebra

c. Memperbaiki keadaan umum penderita

d. Pengobatan antituberkulosa

Standar pengobatan di indonesia berdasarkan program P2TB paru adalah :

v Kategori 1

Untuk penderita baru BTA (+) dan BTA(-)/rontgen (+), diberikan dalam 2 tahap ;
Tahap 1 : Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300 mg dan Pirazinamid 1.500 mg.
Obat ini diberikan setiap hari selama 2 bulan pertama (60 kali).
Tahap 2: Rifampisin 450 mg, INH 600 mg, diberikan 3 kali seminggu (intermitten) selama 4 bulan (54 kali).

v Kategori 2

Untuk penderita BTA(+) yang sudah pernah minum obat selama sebulan, termasuk penderita dengan BTA (+) yang kambuh/gagal yang diberikan dalam 2 tahap yaitu :

o Tahap I diberikan Streptomisin 750 mg , INH 300 mg, Rifampisin 450 mg, Pirazinamid 1500mg dan Etambutol 750 mg. Obat ini diberikan setiap hari , Streptomisin injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya selama 3 bulan (90 kali).

o Tahap 2 diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan Etambutol 1250 mg. Obat diberikan 3 kali seminggu (intermitten) selama 5 bulan (66 kali).
Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita bertambah baik, laju endap darah menurun dan menetap, gejala-gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang serta gambaran radiologik ditemukan adanya union pada vertebra. (1,3)

2. Terapi operatif

Bedah Kostotransversektomi yang dilakukan berupa debrideman dan penggantian korpus vertebra yang rusak dengan tulang spongiosa/kortiko – spongiosa.

Indikasi operasi yaitu:

· Bila dengan terapi konservatif setelah pengobatan kemoterapi 3-6 bulan tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah semakin berat. Biasanya tiga minggu sebelum tindakan operasi dilakukan, setiap spondilitis tuberkulosa diberikan obat tuberkulostatik.

· Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka dan sekaligus debrideman serta bone graft.

· Abses besar segmen servikal pada pasien dengan obstruksi saluran respirasi .

· Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun pemeriksaan CT dan MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada medulla spinalis.
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita tuberkulosis tulang belakang, namun tindakan operatif masih memegang peranan penting dalam beberapa hal, yaitu bila terdapat cold abses (abses dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia dan kifosis progresif atau hernasi tulang atau diskus pada kanalis neuralis. (1,2,3,4)

Abses Dingin (Cold Abses)

Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh karena dapat terjadi resorbsi spontan dengan pemberian tuberkulostatik. Pada abses yang besar dilakukan drainase bedah. Ada tiga cara menghilangkan lesi tuberkulosa, yaitu:

a. Debrideman fokal

b. Kosto-transveresektomi

c. Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan.
Paraplegia

Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia, yaitu:

a. Pengobatan dengan kemoterapi semata-mata

b. Laminektomi

c. Kosto-transveresektomi

d. Operasi radikal

e. Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang

Operasi kifosis

Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat,. Kifosis mempunyai tendensi untuk bertambah berat terutama pada anak-anak. Tindakan operatif dapat berupa fusi posterior atau melalui operasi radikal.

DIAGNOSIS BANDING

1. Osteitis Piogen : khasnya demam lebih cepat timbul

2. Poliomielitis : paresis/paralisis tungkai, skoliosis dan bukan kifosis

3. Skoliosis idiopatik : tanpa gimus dan tanda paralisis

4. Penyakit paru dengan bekas empiema : tulang belakang bebas penyakit

5. Metastasis tulang belakang : tidak mengenai diskus, adanya karsinoma prostat

6. Kifosis senilis : kifosis tidak local, osteoporosis seluruh kerangka (3)

PROGNOSIS

Prognosa dari penyakit ini bergantung dari cepatnya dilakukan terapi dan ada tidaknya komplikasi neurologic, unutk paraplegia awal, prognosis untuk kesembuhan sarafnya lebih baik, sedangkan spondilitis dengan paraplegia akhir, prognosisnya biasanya kurang baik. Bila paraplegia disebabkan oleh mielitis tuberkulosa proggnosisnya ad functionam juga buruk. (3,4)

DAFTAR RUJUKAN

1. Medlinux, Spondilitis Tuberkulosa, last update September 2007, Available from http://medlinux.blogspot.com/2007/09/spondylitis-tuberkulosa.html

2. Admin, Spondilitis TB, last update April 2008, Available from http://dokterfoto.com/

3. Wim de Jong, Spondilitis TBC, Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Jakarta; hal. 1226-1229

4. Hidalgo JA, Pott Disease (Tuberculous Spondylitis), Herchline T, Talavera F, Jhon JF, Mlonakis E, Cunha BA, last update Augus 2006, Available from http://www.emedicine.com/med/infecMEDICAL_TOPICS.htm

5. Mclain RF, Isada C, Spinal tuberculosis deserves a place on the radar screen, last update juli 2004, Available from http://www.ccjm.org/PDFFILES/McClain704.pdf

6. Sidharta P, Spondilitis Tuberculosa, in Lazuardi S, Hok TS, Sudibjo AI, at all eds, Neurologi Klinik dalam Praktek Umum,Dian Rakyat, Jakarta 1999:341

7. Dewi LK, Edi A, Suarthana E, Spondilitis Tuberkulosa, in Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W, eds, Kapita Selekta Kedokteran Media Aesculapius Jakarta 2000 : 58