MUHAMMAD AKBAR , MD

Rabu, 03 September 2008

stevent johnson sindrom

SINDROM STEVENS JOHNSON

PENDAHULUAN

insiden sindrom ini makin meningkat karna salah satu penyebabnya ialah alergi obat dan sekarang semua obat dapat diperoleh secara babas. Setiap ta­hun kira-kira terdapat 10 kasus. Bentuk yang berat dapat menyebabkan kematian, tetapi dengan terapi yang tepat dan cepat nyawa penderita dapat diselamatkan. Stevens-Johnson adalah suatu variasi berat sekaligus fatal dari eritema multiform. merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit, selaput lendir di orifisium (muara/lubang) dan mata, dengan keadaan umum yang bervariasi dari yang ringan sampai berat Sinonimnya antara lain: sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll. 1,2

DEFlNISI

Sindrom Stevens-Johnson merupakan sin­drom yang mengenai kulit selaput lendir di ori­fisium, dan mata dengan keadaan umum ber­variasi dari ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura1,2,3,4

FAKTOR RISIKO

Sindrom ini kebanyakan timbul pada anak-anak dan laki-laki muda. Perbandingan laki-laki dengan perempuan adalah 2 : 1. Namun jarang dijumpai pada anak usia 3 tahun ke bawah. 1,5

SINONIM

Berbagai sinonim dipakai untuk penyakit ini, di antaranya: ektodermosis erosive pluriorifisialis, sindrom mukokutaneaokular, eritema multiforme tipe Hebra, eritema bulosa maligna. Meskipun demikian, yang umum digunakan ialah sindrom Stevens-Johnson. 1,3,6

ETIOLOGI

Etiologi yang pasti belum diketahui. Ada anggapan bahwa sindrom ini merupakan eritema multiforme yang berat dan disebut eritema multi­forme mayor. Salah satu penyebabnya ialah aler­gi obat biasanya secara sistemik Pada kasus­ - kasus yang berobat di begian kami. yang disangka sebagai penyebabnya di antaranya ialah penisilin dan semisintetiknya, streptomisin, sul­fonamide, tetrasiklin, antipiretik/analgetik (misalnya : derivat salisil/pirazolon, metamizol, metam­piron dan parasetamol), klorpromasin, karbama­zepin, kinin antipirin, tegretol, digitalis, kontrasepti, dan jamu. Selain itu berbagai penyebab dikemukakan di perpus­takaan, misalnya Infeksl (bakteri, virus, jamur, parasit), neoplasma, pascavaksinasi, radiasi, dan makanan (coklat) fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan). 1,2,3,7

PATOGENESIS

Patogenesisnya masih belum jelas. Perkiraan disebabkan oleh reaksi alergi tipe III dan IV. Reaksi alergi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan pada organ, terbentuknya kompleks an­tigen-antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen. Aki­batnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi alergi tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersensitisasi oleh suatu antigen berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga ter­jadi reaksi radang 1,2,8

GEJALA KLINIS

Gejala bervariasi ringan sampai berat. Pada yang berat penderita dapat mengalami koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi 39-400C, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorok. Dengan segera gejala tersebut dapat menjadi berat. Stomatitis (radang mulut) merupakan gejala awal. Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 ta­hun ke bawah. Pada sindrom ini terlihat adanya trias ke­lainan berupa. 1,2,5,8

a. kelainan kulit

b. kelainan solaput lendir di orifisium

c. kelainan mata.

a. Kelainan kulit

Kelainan kulit terdiri atas eritema ( kemerahan pada kulit ), vesikel (gelembung berisi cairan), dan bula(seperti vesikel namun ukurannya lebih besar). Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Di samping itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata. 1,5,8

b. Kelainan selaput lendir di orifisium

Kelainan selaput lendir di orifisium Yang tersering adalah di selaput lendir mulut (100%) kemudian disusul oleh kelainan dilubang alat genital (50%), di lubang hidung dan anus jarang. Vesikel dan bula yang pecah menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dapat membentuk pseudomembran. Kelainan yang tampak di bibir adalah krusta berwarna hitam yang tebal. Kelainan dapat juga menyerang saluran pencernaan bagian atas (faring dan esofagus) dan saluran nafas atas. Keadaan ini dapat menyebabkan penderita sukar/tidak dapat menelan dan juga sukar bernafas. 1,5,8

c. Kelainan mata

Kelainan mata, merupakan 80% di an­tara semua kasus, konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun. Selain itu juga dapat be­rupa konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus komea, iritis, dan iridosiklitis. 1,5,8,9

Di samping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis dan onikolisis.

Gejala prodro­mal tak spesifik, dapat berlangsung hingga 2 minggu. Keadaan ini dapat menyembuh dalam 3-4 minggu tanpa sisa, beberapa penderita mengalami kerusakan mata permanen. Kelainan di sekitar lubang badan (mulut, alat genital, anus) berupa erosi, ekskoriasi, dan perdarahan. Kelainan pada selaput lendir, mulut dan bibir selalu ditemukan. Dapat meluas ke faring sehingga pada kasus yang berat penderita tak dapat makan dan minum. Pada bibir sering dijumpai krusta hemoragik. 1,3,6

KOMPLIKASI

Komplikasi yang tersering ialah bronko­pneumonia, yang didapati sejumlah 16% di an­tara seluruh kasus yang datang berobat di bagian kami. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan/darah, gangguan keseimbangan elektrolit, dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi. Tidak jarang terjadi komplikasi berupa kelainan pada paru yaitu bronkopneumonia. Komplikasi lain yaitu kehilangan cairan dan atau darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok. Dapat pula terjadi kebutaan. 1,7,10

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas. Jika terdapat leukositosis, penyebabnya ke­mungkinan karena infeksi. Kalau terdapat eosino­filia kemungkinan karena alergi. Jika disangka penyebabnya karena infeksi dapat dilakukan kul­tur darah. 1,6

HISTOPATOLOGI

Peradangan pada bagian atas kulit dan dilatasi pembuluh darah, infiltrasi perivaskular, ekstravasasi eritrosit serta edema pada stratum korneum. Epidermis mengalami perubahan sedang sampai berat, terjadi spongiosis dan edema intraselular, pembentukan vesikel dan bula yang mengandung serum dan sel polimorfonuklear, sebagian eosinofil. 1,2

Gambaran histopatologiknya sesuai dengan eritema multiforme, bervariasi dari perubahan der­mal yang ringan sampai nekrolisis epidermal yang menyeluruh. Kelainan berupa :

1. Infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh­-pembuluh darah dermis superfisial.

2. Edema dari ekstravasasi sel darah merah didermis papilar.

3. Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidennal.

4. Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang diadneksa.

5. Spongiosis dan edema intrasel di epidermis. 1,3,8

PEMERIKSAAN KULIT

- Lokalisasi Biasanya generalisata, kecuali pada kepala yang berambut.

- Eflorosensi/sifat-sifatnya Eritema berbentuk cincin (pinggir eritema, tengah relatif hiperpigmentasi), yang berkembang menjadi urtikaria atau lesi papular berbentuk target dengan pusat ungu, atau lesi sejenis dengan vesikel kecil. Purpura (petekie), vesikel dan bula, numular sampai dengan plakat. Erosi, ekskoriasi, perdarahan dan krusta berwama mesh hitam. 2

IMUNOLOGI

Beberapa kasus menunjukkan deposit IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superfisial dan pada pembuluh darah yang mengalami kerusak­an. Pada sebagian besar kasus terdapat kom­pleks imun yang mengandung IgG, IgM, IgA, se­cara tersendiri atau didalam kombinasi. 1,5,7

DIAGNOSA

Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada. Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasus-kasus atipik. 1,2,6,10

DIAGNOSIS BANDING

Sebagai diagnosis banding ialah Nekrolisis Epidermal Toksik (N.E.T.) yang khas di sini adalah epidermis terlepas dari dasar (epidermolisis). Penyakit ini sangat mirip dengan sindrom Stevens-Johnson. Pada N.E.T. terdapat epidermolisis yang menyeluruh yang tidak terdapat pada sindrom Stevens­Johnson. Perbedaan lain biasanya keadaan umum pada N.E.T. lebih buruk. Pemfigus: biasanya ada akantolisis dan tes Nikolski positif. Variola hemoragika : efloresensi kulit berupa vesikel/bula dalam stadium yang sama (monomorof). 1,2,3,7,9,10

PENGOBATAN

Jika keadaan umum penderita sindrom Stevens-Johnson baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednison 30-40 mg sehari. Kalau keadaan umumnya buruk dan lesi me­nyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Penggunaan obat kortikosteroid merupakan tindakan life-saving. Biasanya digunakan deksame­tason secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Pada umumnya masa krisis dapat diatasi dalam beberapa hari. Agar lebih jelas, maka berikut ini diberikan contoh. Seorang penderita Stevens-Johnson yang berat, harus segera dirawat-inap dan diberikan deksametason 6 x 5 mg intravena. Biasanya setelah beberapa hari (2-3 hari), masa krisis telah teratasi, keadaan umum membaik dan tidak timbul lesi baru, se­dangkan lesi lama tampak mengalami involusi. Dosisnya segera diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg, setelah dosis mencapai 5 mg sehari lalu diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednison, yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari; sehari ke­mudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Jadi lama pengobatan kira-kira 10 hari. 1,3,5,9

Pada waktu penurunan dosis kortikosteroid sistemik dapat timbul miliaria kristalina yang sering disangka sebagai lesi baru dan dosis kortikosteroid dinaikkan lagi, yang seharusnya tetap diturunkan. Dengan dosis kortikosteroid setinggi itu, maka imunitas penderita akan berkurang, karena itu harus diberikan antibiotik untuk mencegah ter­jadinya infeksi, misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian. Antlbiotik yang dipilih, hendaknya yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal, dan tidak atau sedikit nefrotoksik. Obat yang memenuhi syarat tersebut, misalnya siproflok­sasin 2 x 400 mg i.v., dan klindamisin 2 x 600 mg i.v. sehari. Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid diberikan diet yang miskin garam dan tinggi protein. Kecuali itu juga diberikan obat anabolik dan KCI 3 x 500 mg sehari, jika terjadi penurunan K. 1,2,6

Hal yang perlu diperhatikan ialah mengatur keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi, terlebih-lebih karena penderita sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan di tenggorokan dan kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya berupa glukosa 5% dan larutan Darrow. Jika dengan terapi di atas belum tampak perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusl darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut; teriebih-lebih pada kasus yang di­sertai purpura yang luas dan leukopenia. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan Vit C 500 mg atau 1000 mg sehari, IV. dan hemostatik. 1,7,10

Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit. Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi. Terapi topikal tidak sepenting terapi sis­ternik. Untuk lesi di mulut dapat diberikan kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sofratulle atau krim sufadiazin perak. 1,2

Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal. 1,5,7

PROGNOSIS

Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis. Dalam kepustakaan angka kematian berkisar antara 5-15%. Di bagian kami angka kematian kira-kira hanya 1%.1,7,10